
Kepolisian, ABRI, dan badan intelejen BIA
saling menyombong bahwa merekalah yang terbaik dalam menangkap penjarah yang sedang marak
saat sekarang. Soeharto merasa perlu untuk melakukan tes terhadap hal ini.
Soeharto melepas seekor kelinci ke dalam hutan dan ketiga kelompok
pengikut tes di atas harus berusaha menangkapnya.
BIA masuk ke hutan. Mereka menempatkan informan-informan di setiap pelosok
hutan itu. Mereka menanyai setiap pohon, rumput, semak dan binatang di hutan itu. Tidak
ada pelosok hutan yang tidak di interogasi. Setelah tiga bulan penyelidikan hutan secara
menyeluruh akhirnya BIA mengambil kesimpulan bahwa kelinci tersebut ternyata tidak pernah
ada.
ABRI masuk ke hutan. Setelah dua minggu kerja tanpa hasil, mereka akhirnya
membakar hutan sehingga setiap mahluk hidup di dalamnya terpanggang tanpa ada kekecualian.
Akhirnya kelinci tersebut tertangkap juga hitam legam, mati ... tentu saja.
Kepolisian masuk hutan. Dua jam kemudian, mereka keluar dari hutan sambil
membawa seekor tikus putih yang telah hancur-hancuran badannya dipukuli. Tikus putih itu
berteriak-teriak: "Ya ... ya ... saya mengaku! Saya kelinci! Saya kelinci!"
Kembali ke atas

Sugiyo sudah berumur 42 tahun dan mempunyai 4 orang
putra.
Hari ini ia mengumpulkan semuanya dan menanyakan cita-cita mereka.
Si Sulung, Tohar, "Saya ingin menjadi direktur perusahaan dan Wiraswasta." Si
Nomor dua, Suhar, "Saya ingin menjadi Ulama yang terkenal." Si Bungsu Suto,
"Saya ingin jadi anggota DPR."
Sugiyo gembira mendengar cita-cita anaknya, lalu ia berkata, "Kalau begitu kalian
semua harus masuk ABRI."
Kembali ke atas

Di akherat, Tuhan memerintahkan malaikat untuk memberi
rehabilitasi pada para jendral militer yang banyak membunuh rakyat. Untuk itu mereka akan
dikirim kembali dunia, dan ditanyakan apa yang akan dilakukan.
Jendral Franco dari Spanyol, "Terima kasih Tuhan, aku akan meminta maaf pada
rakyatku, lalu menjadi biarawan dan memuji namaMu."
Jendral Salazar dari Portugal, "Terima kasih Bunda Maria, aku akan pergi dari
pintu ke pintu di seluruh negeri untuk minta dikasihani."
Jendral Pinochet dari Chile. "Terima kasih Jesus, aku akan menjadi buruh miskin
dan memimpin mereka melawan ketidakadilan."
Seorang Jendral dari Indonesia berkata, "Ampun Tuhan! Tolong jangan kirim saya ke
dunia! Kirim saja saya ke neraka. Biarlah 2 juta orang komunis menghujat saya, ribuan dan
ratusan warga Priok, Nipah, Lampung, Tim-Tim, Aceh , dan korban 27 Juli mengumpat saya! Di
dunia sana, 190 juta orang tidak segan untuk membunuh saya dua kali."
Kembali ke atas

Menurut seorang analis militer Singapura, angkatan
bersenjata Indonesia adalah kekuatan militer paling kuat di dunia. Angkatan Darat-nya
dengan mudah mengalahkan demonstran, Angkatan Udara-nya selalu berhasil membidik udara
kosong, dan Angkatan Lautnya melumpuhkan kekuatan bonek. Sementara itu
Kepolisian-nya dengan cepat bisa merobohkan para pemain bola dengan gas airmata.
Kembali ke atas

Suatu hari saat Syarwan Hamid dengan pengawalan ketat
melakukan inspeksi ke sejumlah pemukiman di Baucau, Timor Timur. Di kawasan itu Syarwan
keluar-masuk rumah penduduk dan memeriksa semua isi rumah secara detil. Rupanya Syarwan
ingin menyaksikan bagaimana penduduk Timor Timur menata rumahnya, sekaligus seberapa jauh
proses integrasi telah berhasil.
Di ruang tamu beberapa rumah penduduk Syarwan melihat terpampang gambar burung garuda
dan potret Presiden Soeharto serta Wakil Presiden Try Sutrisno di sebelah kanan-kirinya.
"Wah, ternyata Bapa sudah sadar dengan arti integrasi ya. Dan rupanya Bapa sudah
tahu bahwa presiden di Timor-Timur adalah Soeharto dan wakilnya adalah Try Sutrisno.
Selamat Bapa," ujar Syarwan sambil memberikan uang Rp 100 ribu.
Hal itu dilakukannya kepada setiap penghuni rumah yang diketahui memasang lambang
garuda dan potret presiden dan wapres.
Kini giliran rumah Manuel yang dikenal sebagai anti-integrasi diinspeksi Syarwan dan
rombongannya. Ketika masuk ke ruang tamu, Syarwan tampak tertegun melihat di ruang tamu
rumah Manuel tergantung sebuah patung Yesus Kristus tengah disalib. Sedang di
kanan-kirinya terpampang gambar Soeharto dan Try Sutrisno.... Manuel dan istrinya sempat
tegang. Tapi senyum Syarwan pun segera mengembang. "Tak saya sangka Bapa Manuel telah
sadar dengan arti integrasi. Terima kasih bahwa Bapa telah menyejajarkan Pak Harto dan Pak
Try dengan Yesus," ujar Syarwan sambil memerintahkan anak buahnya menyerahkan uang
sebesar Rp 500 ribu sebagai penghargaan kepada Manuel.
Ketika rombongan berlalu, datang tetangga Manuel bernama Mariano. "Lho bukankah
Bapa selama ini anti pada penindasan yang dijalankan oleh penguasa Orde Baru?" Apa
betul Bapa menyejajarkan Soeharto dan Try Sutrisno dengan Yesus?" tanya Mariano.
"Ah siapa bilang. Itu kan kata si Syarwan. Apa yang ada di ruang tamu ini kan
seperti adegan penyaliban di Golgota. Saat itu bersama Yesus, turut disalib dua orang
penjahat di sebelah kiri dan kanannya," jawab Manuel enteng.
Kembali ke atas

Seorang jendral militer mengundang para wartawan guna
memberi arahan apa yang boleh diberitakan dan apa yang tidak boleh
diberitakan."Berita suksesi tidak boleh ditulis, Presiden tidak suka. Pemogokan
buruh, jangan ditulis, nanti terjadi konflik. Berita korupsi tidak boleh dipolitisir,
wibawa pemerintah rusak. Monopoli tidak boleh menyebut keluarga Presiden, itu tidak etis.
Politik tidak boleh memihak rakyat, nanti resah. Kenaikan harga tidak boleh dijadikan
berita utama, rakyat nanti marah. Berita ini tidak boleh.... Berita ini tidak
boleh....dst."
Seorang wartawan muda yang tidak sabar lalu menyela, "Kalau begitu Jendral, apa
yang boleh kami beritakan?"
Si Jendral menjawab dengan tenang, "Kalian beritakan yang barusan saya
ucapkan!"
Kembali ke atas

Suyono dan Syarwan pergi mancing, mengikuti jejak
Soeharto. Mereka menyewa satu perahu dan berangkat ke arah Pulau Seribu.
Di laut dekat Pulau Putri, mereka berhasil menangkap seekor ikan barakuda yang besar.
Mereka saling bersalaman, saking gembira. "Ayo kita tandai laut itu, supaya kalau
kita mancing lain kali bisa mudah menemukan tempatnya", usul Syarwan. Suyono setuju.
Ia pun mengambil cat hitam dan terjun ke laut, dan membuat satu huruf "X" di
suatu tempat, dan satu-satunya tempat yang bisa ia cat adalah dasar perahu.
Syarwan punya ide yang lebih bargus: "Yon, tandanya dibikin besar, dong. Biar
'ntar mudah dicari kalau kita pakai perahu ini lagi."
Kembali ke atas

Tersebutlah tiga orang bersaudara. Seorang buruh tani dari Siantar,
seorang konglomerat, dan seorang jenderal masih bersaudara. Sang konglomerat mengajak
mereka ke restoran "steak" yang terkenal di Jakarta.Tapi mereka datang agak
terlambat. Begitu masuk, si pelayan utama restoran itu dengan sopan menemui mereka dan
mengatakan, bahwa restoran tak bisa melayani lagi.
"Maaf, kami kekurangan daging impor," kata sang pelayan. Buruh tani bertanya,
"Daging impor itu apa, sih?"
Si konglomerat bertanya, "Kekurangan itu apa?"
Sedangkan si jenderal bertanya, "Maaf itu apa?"
Kembali ke atas

Waktu masih berpangkat kapten, Feisal masuk sendirian ke
sebuah bar di Jalan Blora, lalu pesan satu gelas bir. Dia minum itu bir pelan-pelan, tapi
sebelum habis dia keluar sebentar. Didapatkannya bahwa jip yang dibawanya tadi tidak ada
lagi di tempat parkir. Ia masuk kembali ke bar dan mencabut pistolnya, lalu menembakkannya
ke atas sambil berteriak, "SIAPA DI ANTARA BUSYET-BUSYET DI SINI YANG BERANI MENCURI
JIP GUA?"
Tidak ada seorang pun dalam bar itu yang berani menjawab. Feisal menaruh pistolnya di
meja, lalu teriak lagi, "OKE, DEH GUA PESAN SATU GELAS BIR LAGI, DAN KALAU NANTI GUA
HABIS MINUM ITU JIP KAGAK KEMBALI LAGI DI TEMPATNYA, GUA BAKAL LAKUKEN APA YANG GUE PERNAH
LAKUKEN DI MANGGA BESAR!"
Ia pesan segelas bir lagi, dia tenggak, lalu dia melangkah ke luar. Eh, itu jip memang
betul sudah kembali ke tempatnya. Maka dia pun naik ke mobilnya tapi kemudian teringat
bahwa dia belum bayar birnya.Waktu Feisal mau membayar, si penjaga bar bertanya,
"Emangnya apa nyang dulu Ente lakuken di Mangga Besar?"
Feisal: "Maksud lu waktu jip gua nggak kembali?". Si penjaga bar mengangguk.
Feisal: "Ya gua pulang, jalan kaki."
Kembali ke atas

Syarwan ditugaskan ke Bosnia, bergabung dengan pasukan
PBB yang menjaga perdamaian di sana. Posnya ada di sebuah daerah terpencil, di kaki
pegunungan yang sunyi. Selama sebulan? Syarwan mencoba menahan diri untuk tidak memenuhi
kebutuhan seks-nya. Tapi akhirnya dia tak tahan. Dia datang ke koleganya, seorang perwira
Arab, dan bertanya bagaimana caranya "gituan" di daerah terpencil ini.
Jawab sang perwira Arab, "Kamu bisa pakai kuda di belakang markas itu."
Syarwan ingat Pancasila dan Sapta Marga, maka bertekad ia tak mau melakukan perbuatan
nista ini. Tapi pada bulan ke dua, ia tak tahan lagi. Dia datang ke rekannya yang lain,
seorang perwira India dan menanyakan hal yang sama.
Dia juga dapat jawaban yang sama, "Kamu bisa pakai kuda di belakang markas
itu."
Syarwan diam, tapi tetap ingat Pancasila dan Sapta Marga. Sampai akhirnya di bulan
kelima, dia tak tahan lagi. Dia mendatangi si perwira Arab dan berbisik, malu-malu, bahwa
dia mau "gituan".
Si Arab mengangguk simpatik, "Silakan pakai kuda itu, ini memang giliranmu."
Nah, Syarwan pun dengan bersijingkat mendatangi si kuda, dan melampiaskan hasratnya di
tubuh hewan itu. Lalu dia kembali ke si perwira Arab sambil senyum kecil, "Wah, thank
you, saya sudah pakai kudanya."
"Ah, tak perlu berterima kasih. Semua orang di sini kalau mau datang ke bordil di
bukit itu memang biasanya naik kuda."
Kembali ke atas

Seorang perempuan cerdas, seorang jenderal cerdas dan
sang Gatotkaca memasuki sebuah ruangan di sebuah lembaga penelitian aerodinamika.
Di depan pintu, sebuah robot menyodori mereka sebuah rumus untuk dipecahkan.
Pertanyaannya sekarang: siapa yang bisa menguraikan rumus itu?
Jawab: si perempuan cerdas. Mengapa? Sebab yang dua lainnya itu jenis makhluk yang
tidak pernah ada di alam nyata.
Kembali ke atas

Syarwan sebenarnya tidak tahu apa gerangan nasibnya
nanti, setelah ia pensiun. Tetapi tentu saja ia punya ambisi di hatinya. Pada suatu saat
ia berpuasa tujuh hari dan pantang makan garam dan daging, lalu pergi ke Gunung Lawu. Pada
waktu maghrib, di bawah sebuah pohon rindang, ia memejamkan mata, berkonsentrasi diri.
Tiba-tiba ia mendengar suara, di belakangnya: "Jangan bersedih, hai insan. Aku ini
seorang peri yang baik. Sebutkan saja tiga permintaan, dan itu akan saya penuhi asal saja
..."
Syarwan membuka matanya. Di dekatnya nampak seorang perempuan tua berambut panjang
dengan kain hitam legam menutupi tubuhnya yang sudah kisut. Maka Syarwan pun mengangguk,
hormat dan bertanya: "Apa syaratnya agar keinginan saya bisa dipenuhiya peri?"
"Setubuhi aku," jawab perempuan tua tadi.
Demi untuk mendapatkan semua keinginannya, maka ia pun menjalankan apa yang
diperintahkan. Begitu selesai, sambil mengancingkan celananya kembali, ia langsung
bertanya: "Sekarang, apakah boleh saya mengucapkan keinginanku?"
Sambil menutupkan kain ke tubuhnya perempuan tua itu menatap Syarwan dan bertanya:
"Sebentar, nak. Berapa sekarang umurmu?"
"Limapuluh lima tahun. Kenapa?"
Jawab perempuan tadi dengan kalem: "Sudah tua kok masih percaya ada peri?"
Kembali ke atas

Eddy lulus AKABRI jurusan kepolisian dan akhirnya jadi
reserse kriminil. Ayahnya, seorang pengusaha yang kenal Kapolri yang sekarang, menitipkan
kepada jendral polisi itu agar dapat dibimbing di Jakarta. Supaya cepat. Kapolri setuju
setelah menerima Rp 1 miliar. Eddy ditugaskan di bawah asuhan langsung Dan Reskrim Gories
Mere yang termashur itu.
Beberapa bulan kemudian, waktu Eddy mengunjungi ayahnya, si ayah bertanya: "Apa
yang sudah kamu dapatkan dari pengalamanmu di bawah Pak Gories, Nak?"
"Ada, ayah. Saya punya pengalaman yang menarik dengan Pak Gories Mere." Lalu
Eddy bercerita kepada ayahnya: "Pada suatu malam, kami dapat telepon dari bagian
sekuriti Hotel Grand Hyatt. Rupanya di sebuah kamar ditemukan perempuan dan seorang pria
mati dalam keadaan tidur dan telanjang. Mereka rupanya orang Amerika."
"Wah! Lalu apa yang Pak Gories lakukan, nak?" tanya si ayah kagum.
"Pak Gories dengan tenang memakai topi beliau mengambil tongkat komando, dan
sebelum berangkat meneguk vodka tonik yang tersedia di sudut meja. Beliau tidak pernah
tergesa-gesa, Ayah. Beliau selalu kalem dan lalu beliau menyuruh saya mengiringi masuk ke
mobil. Mobil pun berangkat ke Grand Hyatt.
Kami menemui manajer hotel, dan kepada kami diberitahu nomor kamar di mana insan
telanjang itu kedapatan mati. Manajer kelihatan gugup, waktu ia mengantarkan kami menuju
ke kamar itu. Tetapi Pak Gories sangat tenang dan gagah. Semua dilakukan dengan tanpa
ribut-ribut, supaya tidak heboh di kalangan tamu hotel ..."
"Lalu?", seru si ayah. "Yah, Pak Gories pun masuk ke kamar itu dengan
tanpa mengeluarkan bunyi. Saya dan manajer hotel bersijingkat mengikuti beliau. Di dalam
kamar itu, benar juga seperti yang dilaporkan: di tempat tidur terbaring tubuh seorang
pria bule dan tergetelak di sebelah tubuh seorang perempuan bule, telanjang ... tapi ada
yang aneh dan mencurigakan ..."
Eddy berhenti sebentar di sini, mengambil gelas untuk minum. Bapaknya menunggu tegang.
"Apa yang aneh dan mencurigakan?"
Eddy meneruskan ceritanya. "Yang aneh dan mencurigakan ialah bahwa kemaluan
laki-laki itu ternyata masih berdiri tegak"
"Waduh! Apa yang terjadi?" tanya si ayah.
"Mula-mula saya tidak tahu, pak. Tapi kemudian Pak Gories dengan tenang memukulkan
keras-keras tongkat komandonya ke ujung kemaluan itu, dan ..."
"Dan apa, Nak?"
"Terdengar teriak keras. Laki-laki bule itu berteriak. Ia bangkit. Juga tubuh
perempuan itu tiba-tiba berdiri. Kemudian baru kami tahu bahwa rupanya kami memasuki kamar
yang salah."
Kembali ke atas

Seorang prajurit ABRI terbunuh dalam sebuah kontak
senjata di pinggiran Los Palos di Timor Timur. Nyawanya melayang, menuju ke pintu surga.
Di pintu surga tampak Santo Petrus sedang menjaga pintu masuk.
"Aku anggota ABRI," ujarnya kepada Petrus.
"Ya," kata Santo Petrus, "Anda tak boleh masuk, kami tak ingin ada
keributan di sini seperti yang terjadi di umum."
"Siapa yang mau masuk? Subversi ya!," hardik anggota ABRI itu. "Kuberi
waktu lima menit untuk segera mengosongkan tempat ini."
Kembali ke atas

Suatu malam, Dibyo ketika masih di Akademi Kepolisian di
Candi, di pinggiran Semarang, mendapat tugas praktek lapangan untuk pertama kalinya
diantar seorang sersan pelatih memasuki kota Semarang. Mereka sampai di sebelah tempat
dekat perempatan jalan.
"Nah, kau lihat lampu merah itu? Kau bertugas di sana," ujar sang sersan
sambil menunjuk Trafic Light yang sedang menyala merah di perempatan jalan.
Semalaman taruna Dibyo tidak pulang-pulang. Sehari kemudian ia muncul dan langsung
menghadap sang sersan pelatih.
"Ke mana saja engkau?" hardik sang sersan.
"Siap! Ke Solo, lalu balik kembali," jawab Dibyo tenang tetapi tegas, "
ternyata lampu merah itu lampu belakang sebuah truck. Laporan selesai!"
Kembali ke atas

Tiga orang prajurit muda melamar untuk jadi intel BIA.
Mereka bergiliran menjalani ujian lisan. Karena untuk jadi intel di Indonesia tidak
diperlukan kecerdasan tinggi, pertanyaannya pun sederhana, tidak panjang lebar, menyangkut
pengetahuan umum yang dasar. Tapi karena si penguji kebetulan orang Jawa yang doyan
wayang, soal-soal hari itu berkenaan dengan cerita wayang saja.
Giliran pertama, Abu, bekas anggota KNPI, berasal dari Madura, masuk. Si penguji
bertanya: "Siapa yang menculik Sinta?"
Jawab Abu: "Rahwana".
Abu lulus, dan diterima jadi intel.
Giliran ke dua Bustanul, bekas anggota FKPPI, berasal dari Sawahlunto. Si penguji
bertanya: "Siapa adik Rama yang mengikutinya hidup di hutan?"
Bustanul berpikir sejenak dan dalam hati mengutuk pertanyaan yang Jawa-sentris ini.
Tapi ia bisa menjawab: "Laksmana". Bustanul pun lulus, dan diterima jadi intel.
Giliran ke tiga Prabowo, bekas anggota Pemuda Pancasila, berasal entah dari mana. Si
penguji bertanya: "Siapa yang bertanding dan akhirnya membunuh Rahwana?"
Prabowo terdiam, tidak menjawab, meskipun senyum terus. Sampai 10 menit. Akhirnya si
penguji kehilangan kesabaran dan berkata: "Kamu boleh pulang sekarang, dan besok
datang lagi dengan membawa jawabanmul"
Prabowo pun keluar, dengan senyum terus. Di rumah dia ditanya oleh bapaknya, bagaimana
hasil ujiannya jadi intel, kok senyum-senyum terus. Jawab Prabowo: "Bagus, Pak. Malah
saya sudah dapat tugas untuk menyelidiki sebuah kasus perkelahian''.
Kembali ke atas

Ketika masih kolonel, Syarwan setiap hari bermimpi bisa
segera jadi jendral. Karena terus memikirkan kariernya agar bisa cepat melonjak, Kolonel
Syarwan akirnya menderita tumor otak.Terpaksa sebuah operasi dilakukan. Syarwan diminta
agar tetap diopname di rumah sakit sambil menunggu tumor otaknya diangkat. Sementara itu
semua informasi yang masuk ke Syarwan disaring agar penyakitnya tak bertambah parah.
Banyak diantara bawahan Syarwan membesuk khususnya setelah bekas operasi di kepala sang
kolonel agak sembuh.
"Pak, ada kabar gembira yang belum saya sampaikan kepada Bapak, soalnya selama ini
'kan Bapak sakit," ujar seorang bawahan memulai percakapan dengan Syarwan yang sedang
berbaring di ranjang.
"Berita apa itu?" tanya Syarwan.
"Bapak sekarang sudah diangkat jadi jendral!" jawab sang bawahan.
Sementara itu dokter yang mengoperasi tumor otak Syarwan datang. Ia kelihatan sangat
panik. "Aduh. Gimana ya Pak? Otak Bapak yang saya operasi lupa saya masukkan kembali
ke dalam kepala Bapak ...," ujar si dokter setengah melapor.
"Ah, nggak apa-apa Dok. Tak usah repot-repot. Saya sekarang setelah jadi jendral,
jadi nggak perlu pakai otak lagi ..."
Kembali ke atas

Seekor babi hutan dari pedalaman Timika di Irian Jaya
lari ketakutan menyeberangi perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Ia merasa diburu-buru
tentara Indonesia. Ia baru berhenti ketika ada seekor babi hutan Papua Nugini menyatakan
bahwa ia sudah berada dalam wilayah Papua Nugini.
"Mengapa Anda berlari?,' tanya babi Papua Nugini.
"Terus terang saya khawatir pada tentara Indonesia. Mereka mengebiri semua
laki-laki di sana," ujar babi Indonesia.
"Tapi anda 'kan bukan manusia. Anda 'kan cuma seekor babi hutan?."
"Justru itulah. Mereka mengebiri dulu baru bertanya kemudian," ujar babi
Indonesia.
Kembali ke atas

Di sebuah sekolah SD di pinggiran sebelah umur kota
Dili, Timor Timur, seorang guru dari Jawa menanyai murid-muridnya tentang profesi orang
tuanya masmg-masing.
Seorang murid Kelas V bernama Caspar yang mengidolakan Xanana Gusmao sebagai pahlawan
mendapat gilirannya. Ia pun menjawab, "Ayah saya jadi petugas rumah bordil."
Tentu saja si Guru terkejut mendengarnya. Siangnya ia segera mengirimkan sebuah surat
untuk ayah Caspar. Guru merninta ayah Caspar datang menemuinya.
Esoknya muncul seorang anggota Babinsa lengkap dengan seragam hijau dorengnya.
Lagi-lagi sang Guru terkejut dan tergagap."Saya sekarang benar-benar bingung.
Bukankah Bapak yang bertugas di Kodim Dili? Kenapa di kelas anak Bapak mengatakan bahwa
Bapak adalah petugas rumah bordil. Dari penjelasan anak Bapak, tadinya saya sendiri
mengira Bapak bekerja di Aspal Goreng (lokalisasi di pinggiran Dili -red.)!"
"Ah, maafkan dia. Dia masih kecil. Dia selalu begitu. Dia malu bapaknya jadi
tentara Indonesia."
Kembali ke atas

Di Indonesia, Irian Jaya dikenal sebagai pemasok utama
para olahragawan. Dalam rangka persiapan Sea Games, Ketua Umum KONI Wismoyo mengadakan
peninjauan lapangan ke sejumlah atlit yang sedang berlatih di Senayan. Wismoyo yang sudah
lama tertarik kepada rahasia sukses atlit Irian segera meminta agar menghadapkan padanya
seorang atlit dari Pulau Kepala Burung.
Rupanya seorang atlit serba bisa yang mantan pendukung OPM, Karel Rumaurir, sedang
berlatih didekat rombongan KONI. Ia didekati seorang staf KONI dan diminta menghadap
Wismoyo. Kepada Wismoyo, Karel diperkenalkan sebagai pemegang medali emas olahraga
panahan, lempar lembing, dan lari sprint.
"Apa benar kamu juara di bidang panahan, lempar embing, dan lari cepat?"
tanya Wismoyo.
"Siap Pak. Benar!" sahut Karel dengan posisi tegak.
"Coba ceritakan rahasia suksesmu di tiga cabang olahraga itu, saya ingin
tahu!"
"Siap Pak! Dulu saya dan kawan-kawan selalu berlatih memanah ABRI. Bila masih ada
ABRI yang nekad maju, kami akan melempar lembing. Dan bila ada banyak ABRI yang nekad,
kami akan lari cepat!"
Kembali ke atas

Penindasan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia telah
menimbulkan sejumlah masalah pelik bagi pemerintah Indonesia. Hubungan diplomatik dan
bantuan keuangan yang selalu dikaitkan dengan praktek HAM membuat wajah diplomasi
Indonesia semakin babak belur. Untuk itu Pangab memerintahkan agar BIA, BAKIN dan
Bakorstanas bekerjasama dengan Deppen menggelar serangkaian diskusi dengan tema
"Dalam Pancasila Sudah Ada Nilai Penegakan HAM".
Sejumlah undangan, surat pemberitahuan dan konsep iklan dibuat. Sebuah buku program
acara juga dicetak untuk melengkapi. Dalam program acara tertulis kata-kata:
"Kebebasan Berpendapat. Kebebasan Pers. Wartawan Dilarang Masuk".
Kembali ke atas

Usai acara HUT ABRI 5 Oktober 1997 lalu, Pak Domo
mendatangi seniornya, Pak Nas dan Pak Harto untuk memberi ucapan selamat atas
penganugerahan tanda pangkat jendral bintang lima kepada keduanya. Dari sekadar
berbasa-basi, lantas berkembanglah pembicaraan mereka ke soal masa tua dan gejala
kepikunan yang mereka alami.
"Meski saya sempat dikucilkan pemerintah, alhamdullilah, fisik saya relatif masih
sehat kecuali prostat dan jantung yang agak terganggu. Cuma saja setiap kali membuka
lemari es, saya lupa apakah saya ingin meletakkan atau mengambil sesuatu. Setiap bangun
pagi saya juga bingung apakah ini jaman Orde Baru atau masih Orde Lama," ujar
Nasution disambut tertawa berderai Pak Harto dan Pak Domo.
"Itu tak seberapa, Pak!" sambung Soedomo, "Setiap kali melihat
perempuan, saya sering berpikir bahwa saya sedang berada di tangga sambil berpikir apakah
saya ingin naik atau ingin turun."
"Untunglah," kata Soeharto, "aku belum mengalami hal-hal seperti itu dan
aku siap dicalonkan jadi presiden lagi."
Soeharto lantas mengetuk-ngetukkan tongkat komando jendral bintang lima yang baru
dipegangnya ke meja. "Oh," ucap Soeharto sambil bangkit dari tempat duduknya,
"Rupanya ada tamu."
Kembali ke atas

Feisal diundang nmenghadiri sebuah jamuan makan bersama
para tokoh profesional terkemuka di Jakarta. Feisal dianggap mewakili kalangan profesional
ABRI.
Saat seremonial usai, acara dilanjutkan dengan pesta kebun. Sambil menyantap makanan
Feisal mendekati seorang dokter dan insinyur yang tampaknya sedang mengunggulkan
profesinya masing-masing.
"Bagaimana pun, profesi dokter adalah profesi tertua di dunia," ujar sang
dokter. "Seorang dokter itu bisa dikatakan mempunyai keahlian seperti Tuhan saat
menciptakan Adam. Ia melakukannya lewat sebuah operasi. Ia mengambil sebuah tulang rusuk
Adam dan kemudian menciptakan Hawa. Pembedahan adalah pekerjaan yang paling tua di dunia
ini," lanjut si dokter.
"Tunggu sebentar," tangkis si insinyur, "Sebelum Tuhan menciptakan Adam
dan Hawa, ia terlebih dulu harus mengatasi kekacauan dan kebingungan yang ada dan baru
melakukan proses penciptaan selama 6 hari. Apa yang dilakukan insinyur pada dasarnya lebih
awal ketimbang pembedahan yang dilakukan seorang dokter."
Feisal rupanya habis kesabarannya. "Kamu berdua salah besar. Memangnya menurut
kalian siapa yang mampu merekayasa kekacauan dan kebingungan. Kan hanya ABRI?!"
Kembali ke atas

Untuk mensukseskan program "ABRI Masuk Desa"
sejumlah pasukan di sebuah desa terpencil di pinggiran Ainaro, Timtim, dikerahkan untuk
mendirikan gedung sekolah. Setelah itu mereka diinstruksikan agar mengajak anak anak agar
mau pergi bersekolah.
Rupanya Soares, 10, adalah salah satu anak yang dipaksa tentara bersekolah. Di sekolah
ia diajari oleh guru tentara tentang sejarah Proklamasi RI, perjuangan kemerdekaan,
pahlawan Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, era kejayaan Majapahit dan Pemberontakan Komunis
pada September 1965.
Setelah 1 minggu ikut pelajaran sekolah tentara, Soares ditanya ibunya. "Nak, apa
pengalamanmu selama seminggu di bangku sekolah," tanya ibunya.
"Saya hanya buang-buang waktu saja. Saya tidak bisa membaca, saya tidak bisa
menulis, dan saya tidak diperbolehkan bicara ..."
Kembali ke atas

Di sebuah ruangan kelas di pinggiran Desa Qom, kawasan
ujung timur Timtim, tentara diberi kesempatan mengajar pelajaran bahasa di sebuah sekolah
menengah. Seorang perwira muda ABRI menerangkan bahwa pemerintah Indonesia sekarang ini
tengah menggiatkan sejumlah program demi kesejahteraan masyarakat Timor Timur.
"Ada ABRI masuk desa, kain masuk desa, koran masuk desa, listrik masuk desa. Coba
silogisme apa yang bisa dibuat?"
Seorang pelajar, Manuel, yang tampaknya kesal dengan pelajaran tersebut mengacungkan
jari, "ABRI ke desa, pakai sarung, baca koran, kesetrum."
Kembali ke atas

Dua orang lelaki di pinggiran Los Palos, Timtim,
ditangkap ABRI dengan tuduhan terlibat kegiatan antiintegrasi. Mereka dibawa ke Markas SGI
di Dili dan menjalani proses pemeriksaan. Meski disiksa, keduanya menolak memberikan
keterangan.
"Di mana tempat tinggalmu?" tanya interogrator.
"Saya tinggal di sembarang tempat," jawab yang satu. "Kadang di ladang,
di gunung, di hutan, di pantai, di rumah penduduk ...yaa... di mana saja."
Merasa buntu menghadapi perlawanan ala Timtim, sang interogrator beralih kepada lelaki
satunya. "Kalau kau, tinggal dimana?"
"Ah, saya bertetangga dengan dia."
Kembali ke atas

Seorang perempuan di pinggiran Dili, Timtim, Marietta
kawin dengan anggota ABRI asal Jawa.
Suatu hari putera mereka kembali dari sekolah dengan wajah murung dan langkah gontai.
"Ada apa sayang?" tanya Marietta.
"Saya ini orang Timtim atau Jawa, sih?"
"Lho, kenapa kamu bertanya begitu? Memang ayahmu ABRI Jawa dan ibumu Timtim. Tapi
bukankah kau bisa menjadi kedua-duanya?"
"Saya bingung!" sahut anaknya, "Tadi di sekolah ada teman sekelas bawa
sebuah radio kecil dan hendak menjualnya Rp 20 ribu pada saya. Dan saya tak tahu, apakah
saya harus menawar atau mengambil saja radio itu."
Kembali ke atas

Di sebuah salon tradisional di Dili, seorang tukang
potong rambut sedang menggunting seorang pemuda berbadan tegap dengan rambut terburai
hingga pundak.
"Apakah Bapak berdinas di ketentaraan?" tanya sang tukang cukur.
"Ya," sahut sang pemuda, "Darimana anda tahu?"
"Hmm," ujar sang tukang cukur, "Saya menemukan baret di balik rambut
Bapak."
Kembali ke atas

Dalam pertemuan anggota parlemen ASEAN, seorang anggota
MPR Indonesia dari Fraksi ABRI memperkenalkan diri pada peserta pertemuan, "Saya
terlahir sebagai anggota ABRI. Saya telah menjalani hidup saya selama ini sebagai anggota
ABRI. Dan saya berharap kelak saya mati juga sebagai anggota ABRI."
Dari deretan anggota parlemen Singapura terdengar sebuah pertanyaan dengan nada
keheranan, "Bagaimana mungkin ada politisi tidak punya ambisi apa-apa."
Kembali ke atas

Dalam kursus Lemhamnas, Feisal menjelaskan tentang
perlunya konsep Dwifungsi ABRI dipertahankan dalam praktek kehidupan di Indonesia di
segala bidang.
"Nah, sekarang saya ingin bertanya. Siapa di antara Saudara yang bisa menjelaskan
bagaimana rasanya hidup Saudara bila ABRI yang memimpin"' tanya Feisal.
Seorang peserta kursus yang anggota kebetulan anggota PPP-nyeletuk, "Yah, persis
seperti naik Metromini. Seorang menyetir dan lainnya terguncang-guncang."
Kembali ke atas

Seorang tua penduduk di pinggiran Los Palos, Timor
Timur, bernama Manuel sedang sakit berat. Ia tengah berbaring di ranjang kayunya.
Tiba-tiba terdengar ketukan keras pada pintu luar.
"Siapa itu yang di luar?," teriak Manuel dengan ketakutan.
"Saya Malaikat Maut!"
"Oh, syukurlah. Saya kira yang datang anggota ABRI."
Kembali ke atas

Seorang anggota ABRI berpangkat kopral berpakaian preman
tengah berjalan sendirian di jalan yang gelap dan sepi oleh dua pria berpistol.
"Saya tidak main-main," kata salah satu pria sambil mengancam.
"Serahkan uangmu, atau otakmu kubuat berhamburan."
"Silakan tembak dan buat otak saya berhamburan," sambut si kopral.
"Sebagai anggota ABRI saya tak memerlukan otak; saya lebih butuh uang untuk
hidup."
Kembali ke atas

Bersama sejumlah perwira asal Indonesia Syarwan dapat
kesempatan berkunjung ke Amsterdam. Ditemani seorang perwira Belanda, Syarwan mengunjungi
kawasan lampu merah yang paling terkenal seantero dunia itu. Rupanya Syarwan tergiur
melihat kemolekan tubuh perempuan bule yang disebut sebagai "kuda putih" yang
mejeng di kawasan itu. "Yah, kapan aku bisa ....merasakan dekapan mereka,"
pikirnya.
Di pinggiran jalan, di antara tumpukan sampah tiba-tiba Syarwan melillat sebuah lentera
tembaga. Dia merunduk dan memungutnya. Ternyata benda itu adalah sebuah lentera ajaib.
Saat Syarwan menggosok keluarlah jin.
"Syarwan, kau boleh mengajukan dua permintaan. Aku janji akan
mengabulkannya," ujar jin.
"Pertama," ucap Syarwan, "Aku ingin berkulit putih, bertubuh padat dan
tak usah lagi jadi perhatian orang seperti di sini. Kedua, aku ingin selalu hidup dalam
dekapan badan yang paling rahasia dari seorang perempuan, yang tentunya hangat dan
nyaman."
Hanya dalam sekejap, Syarwan pun berubah menjadi sebuah tampon.
Kembali ke atas

|